Pengunjung tengah mengamati karya dalam pameran "Konvergensi: Pasca-Tradisionalisme" Sumber Foto: Sekararum Winihastuti |
Pameran seni rupa ini merupakan wujud dari bagaimana pendidikan seni dapat melahirkan bentuk yang dapat mewujudkan wacana, kritik, praktik, hingga terobosan baru dalam proses kreatif berkesenian. Pihak Galeri R. J. Katamsi bekerja sama dengan Srisasanti Syndicate dalam tata kelola serta manajemen seni.
Dalam proses kuratorial terdiri dari Suwarno Wisetrotomo, Asmudjo J. Irianto, dan M. Rain Rosidi. Seniman-seniman yang dipilih oleh kurator merupakan alumni FSR ISI Yogyakarta serta seniman yang berpengaruh dalam dunia kesenian di Indonesia.
Beberapa seniman yang pengaruhnya besar sampai pada ruang internasional seperti, Entang Wiharso, Heri Dono, Tisna Sanjaya, Moelyono meramaikan ruang pameran bersama dengan seniman-seniman generasi baru serta kolektif seni yang bersentuhan dengan media atau medium yang bersentuhan dengan teknologi. Pameran ini melibatkan 58 seniman dan 6 kolektif seni yang aktif dalam ekosistem kesenian di Indonesia.
Karya-karya yang dipamerkan di Galeri R. J. Katamsi ini mencakup 4 lantai. Pengunjung umum membayar tiket dengan harga Rp10.000,- dan pengunjung khusus mahasiswa ISI Yogyakarta mendapat akses gratis.
Perubahan yang demikian drastis menjadikan seniman-seniman yang berpartisipasi dalam pameran “Konvergensi: Pasca-Tradisionalisme” dengan tajuk yang menyatukan corak tradisi dengan dunia yang lebur akan aspek tradisinya, yaitu dunia teknologi mengalami penyatuan yang membuahkan hasil karya-karya yang bentuk dan variasinya beragam.
Tak hanya menggunakan penyatuan teknologi dalam karyanya, ruang pun menjadi media yang melekat dalam memori serta menghasilkan rasa yang berbeda. Karya lukis, patung, instalasi dan lainnya pun cukup kompleks dan menarik.
Beberapa karya yang menggunakan video mapping, digital art, sound art, dan sebagainya. Karya yang menggunakan media digital contohnya seperti, “Sembilan Matahari”, karya Adi Panuntu, menggunakan video mapping Candi Borobudur yang terlihat seakan muncul dan karya Ace House Collective yang diberi judul "Seni Juga Butuh Istirahat" #1 menggunakan box kontainer sebagai layar proyektor video mapping-nya.
Sebuah kolektif yang berdiri sejak tahun 1999 dan melakukan proses seni media baru dengan menyatukan seni dengan sains bernama House of Nature Fiber memamerkan karya yang tak kalah unik dan menarik. Ada pula yang menggunakan monitor atau layar televisi untuk menampilkan video art.
“Sembilan Matahari”, Karya: Adi Panuntun. |
"Seni Juga Butuh Istirahat" #1, Karya: Ace House Collective Sumber Foto: Sekararum Winihastuti |
“Interspecies Interaction”, HONF(House of Nature Fiber) Sumber Foto: Sekararum Winihastuti |
Pameran “Konvergensi: Pasca-Tradisionalisme” menjadi titik dimana kesenian telah menjalani berbagai peristiwa dan proses yang begitu panjang. Banyaknya seniman akademis yang hadir di pameran ini menjadi sebuah hasil dari bagaimana pendidikan seni mendorong perubahan-perubahan mulai dari praktik hingga wacana.
Mengusung tema bercorak tradisi yang bersentuhan dengan teknologi memperluas praktik berkesenian hingga pandangan terhadap karya seni. Ruang pameran ini dapat menghasilkan sebuah media refleksi bagi insan-insan seni yang tergerus oleh cepatnya ombak informasi dari berbagai ruang(platform).
Bahkan dalam pendidikan pun mengalami perubahan yang cukup besar dalam memahami ruang kelas dikarenakan tahun lalu kegiatan pendidikan diadakan secara online atau dengan bantuan teknologi yang memudahkan interaksi jarak jauh.
Dengan banyaknya kegiatan berjejaring melalui internet, seniman pun dapat menggunakan kondisi tersebut dalam hal pengkaryaan serta proses kreatifnya. Pengaksesan informasi dan ilmu pengetahuan lebih terjangkau sehingga ide dan konsep yang muncul dapat diperkaya dengan mudah.
Bentuk-bentuk dari karya yang dipamerkan di Pameran “Konvergensi: Pasca-Tradisionalisme” merupakan seni kontemporer yang medianya meluas tak hanya pada eksplorasi pembahanan teknisnya, tetapi dalam konsep hingga mencakup ruang dan sasaran audiens (target audience).
Pengunjung yang datang tak hanya dari kaum seni, masyarakat umum dan komunitas difabel pun dapat berkunjung melalui kegiatan gallery tour. Serta masyarakat pengguna media sosial akan ikut berkunjung untuk mewarnai halaman profil media sosial mereka yang otomatis merupakan bentuk dari publikasi pameran itu sendiri. Hal ini dapat terlihat bahwa perubahan yang bersentuhan dengan teknologi dan internet dapat menyatukan masyarakat yang diluar payung kesenian untuk ikut mengapresiasi dunia kesenian.
Proses kesenian yang dilakukan seniman-seniman seperti Moelyono, Entang Wiharso, Tisna Sanjaya, dan seniman lainnya dalam mempersatukan media dan partisipan di dalamnya menghasilkan perkembangan wacana serta praktik seni. Saat ini pula masyarakat umum lebih dapat mengenal dunia seni tanpa harus menekuni pendidikan seni karena sudah menyatu dengan dunia maya/virtual yang setiap hari mereka kunjungi. Tak hanya melihat pada praktik, wacana, proses, hingga penggunaan ruang publik pameran, tetapi hal ini dapat dilihat di payung-payung pengetahuan lain seperti, ilmu politik, psikologi, sosiologi. ekonomi, dan sebagainya. Bahwa, pendidikan seni dapat mempersatukan berbagai bidang ilmu pengetahuan dan dibahasakan atau dikomunikasikan lewat kacamata seni.
Seni kontemporer saat ini membahas persoalan yang sudah luas dan Pameran “Konvergensi: Pasca-Tradisionalisme” merupakan salah satu contoh dimana seni dapat bersentuhan dengan berbagai bidang. Mulai dari pameran ini, kemungkinan perubahan bentuk dan pendekatan tentang kesenian akan mengalami proses kreatif yang dapat melampaui ruang maupun waktu. (Penulis: Sekararum Winihastuti)
0 comments:
Posting Komentar