Foto: Suasana Pemutaran Film dan Diskusi Bis Kota, Sumber: Cogito Interruptus |
Memasuki gedung Fakultas Pendidikan Seni dan Desain, UPI dengan kebingungan saya mencari lokasi event Biskota yang ternyata berada di Auditorium tepatnya di lantai paling atas. Acara pemutaran dan diskusi film yang diselenggarakan pada Jumat,10 Desember 2021 oleh kolektif Cogito Interruptus ini menyediakan informasi yang pengunjung perlu ketahui, seperti memakai kostum atau pakaian yang biasa orang-orang pakai saat di bus, membawa teman, pasangan, atau anggota keluarga, dan membawa uang receh bila perlu.
Saya berpakaian seperti guru, membawa sedikit uang, tetapi saya mengunjungi event ini sendirian meskipun saya sudah mengajak beberapa kawan saya. Saat berada di depan Terminal Aoedit, tepatnya pintu masuk auditorium, saya tidak disambut tetapi saya harus ikut mengantri untuk masuk. Event ini memang saya tunggu-tunggu dan sebelumnya saya sudah membeli karcis pre-sale dengan harga lima ribu rupiah, jika bayar ditempat harganya delapan ribu rupiah. Setelah itu saya diberikan popcorn dan membeli segelas iced lemon tea. Informasi rundown acara sudah diberikan di akun instagram @cogitointerruptus sehingga saya tidak terlewat beberapa acara yang akan diselenggarakan. Saat memasuki auditorium, saya berpikir bahwa saya terlambat, ternyata saya datang awal.
Ngamen, Baca Puisi di Pembukaan Bis Kota
Foto: Acara Pembukaan di Bis Kota, Sumber |
Dibuka dengan live music atau mengamen yang ditampilkan oleh Andre dan kawan-kawan dan Raisan dan kawan-kawan, beberapa pengunjung ikut memeriahkan dan menyanyi. Sambil menunggu acara pembukaan, saya bertemu dan mengobrol dengan beberapa kawan dari panitia event dan yang berkunjung untuk meramaikan event.
Event seperti ini baru ada di jurusan ini dan tidak
melibatkan himpunan atau fakultas dan acara diadakan murni dari kolektif. Saya
melihat beberapa tempelan poster-poster parodi di dinding auditorium tersebut
seperti yang ditempelkan di terminal-terminal. Beberapa dekorasi yang
melambangkan terminal menghiaskan ruang auditorium tersebut meskipun ada
beberapa dekorasi yang membingungkan.
Pengunjung kian berdatangan, saya tidak tahu apakah yang datang hanya mahasiswa-mahasiswi jurusan film dan televisi saja, tetapi kawan yang saya ajak ke event ini dari jurusan sastra Inggris dari UPI dan saya mendapat kabar bahwa mahasiswa dari seni rupa pun UPI ikut berkunjung. Acara pembukaan berlangsung, di-MC-kan oleh Wildan dan Belva dan sambutan dari ketua pelaksana acara Luthfi Suwandono.
Penghujung acara pembukaan pun datang dilanjutkan oleh penampilan pembacaan puisi yang otomatis mengheningkan suasana auditorium. Penampilan dari Ismail Noer Ardhi membacakan puisi yang berjudul Pesan Pencopet untuk Pacarnya yang membuat saya merinding dan Kang TM membacakan puisi yang berjudul "Aku Lupa" yang awalnya saya berpikir dia benar-benar lupa tetapi penampilannya tak terlupakan.Setelah penampilan pembacaan puisi, screening film sesi
pertama memutar film Painthing yang disutradarai oleh Adzka Pramuditha dan film
Drawing Pen yang disutradarai oleh Alifah Nurul Ghaitsa yang berdurasi
masing-masing lima menit.
Dalam film Painthing, terdapat sepasang suami istri yang
menantikan momongan yang ternyata beberapa kali tidak tersampaikan. Beberapa
foto USG bayi dan lukisan-lukisan seorang ibu yang menggendong bayi tertempel
di dinding, yang sepasang suami dan istri tersebut melihatnya dengan penuh
kesedihan. Film yang hanya berdurasi lima menit tersebut membawa saya ke dalam
emosi bagaikan rollercoaster, yang awalnya melihat seorang istri yang akan
menjadi ibu dan menumpahkan keinginannya ke dalam lukisan dengan senyuman yang
kemudian berakhir dengan tangisan saat memajang lukisan tersebut bersama
suaminya membuat saya nyaris menangis saat itu juga.
Setelah penonton bertepuk tangan, dilanjutkan oleh film
Drawing pen yang menceritakan tentang seorang seniman yang tengah menggambar
yang kemudian tinta pulpennya habis. Ia menemukan sebuah buku sketch tua dan
drawing pen yang ternyata benda apapun yang ia gambar di buku dan drawing pen
tersebut akan muncul dari lemari tempat buku dan drawing pen itu tersimpan.
Segala hal duniawi yang ia inginkan digambarkannya sampai akhirnya ia
menggambar seorang gadis namun tak sempat ia selesaikan yang awalnya sebuah
mimpi indah yang terwujud menjadi mimpi buruk yang meneror.
Walaupun lokasi film tersebut diproduksi di studio saya, tetapi
saya baru menonton film tersebut pada saat itu dan tidak menduga hasilnya akan
semenarik itu.
Masuk pada sesi diskusi bersama sutradara film Painthing dan Drawing Pen yang dimoderatori oleh Kang Laudza Dermaga Nareswara. Pada saat itu, sutradara film Drawing Pen tidak bisa hadir lalu digantikan oleh produser film bernama Aghniya Al Mahmudah.
Dalam diskusi tersebut, film Painthing dan
Drawing Pen memiliki kemiripan dalam menyampaikan pesan melalui media karya
seni, yaitu melukis dan menggambar.
Film Painthing mencoba menyampaikan keinginan memiliki
momongan dan Drawing Pen keinginan duniawi. Sutradara film Painthing ini
memiliki ketertarikan dalam melukis dan menggunakan media tersebut untuk
filmnya. Tak hanya itu kedua film tersebut sangat minim dialog sehingga pesan
yang diberikan terdapat dalam segi visual dan bagaimana aktor dan aktris
memerankan cerita film tersebut. Tidak lepas dari beberapa simbol-simbol
seperti baju yang digunakan aktor dan aktrisnya dalam film Painthing berwarna
putih melambangkan kesedihan atau seseorang yang sedang berkabung, serta
hal-hal duniawi seperti barang-barang bermerk, uang, dan perempuan di film
Drawing Pen.
Pengambilan shot dan lighting pun mempengaruhi penyampaian cerita dalam film, seperti dalam film Painthing pengambilan shot wajah close-up saat melukis menekankan suasana emosi yang dimainkan oleh tokoh istri. Dilanjutkan dengan sesi tanya jawab dari penonton, dari Yopi menanyakan soal pesan moral yang ingin disampaikan oleh pembuat film.
Pesan tersebut dapat
diambil dari perspektif penonton sendiri, karena ada beberapa film yang
pesannya hanya bisa direfleksikan oleh masing-masing, jawab Adzka. Menurut
Aghniya, dalam film Drawing Pen, seseorang tidak akan pernah puas terhadap
keinginan duniawinya, akan selalu berbalik pada orang tersebut. Ada juga yang
menanyakan dari “Barudak Kentrung” yang berisikan Roki, Bara, apakah film
Drawing pen tersebut adaptasi atau sebuah parodi dari serial kartun Chalkzone,
yang ternyata tidak demikian.
Foto: Poster Film "Hilang" & "Hope" |
Sesi Kedua Bis Kota, Film: "Hilang" dan "Hope"
Dilanjutkan dengan sesi dua screening yang memutar film
Hilang yang disutradarai oleh Fahri Sheva dan film Hope yang disutradarai oleh
Rendra Fatimah Azzahra yang berdurasi masing-masing sepuluh menit. Film Hilang
mengisahkan tentang seorang anak perempuan yang setiap hari menyajikan makanan
dan obat untuk ibunya yang terkena penyakit CoVid-19. Kemudian ia baru tersadar
bahwa ibunya telah wafat sejak lama dan rutinitasnya tetap melekat padanya.
Film ini membuat saya bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi. Mirip dengan film-film dari sesi sebelumnya, dialog yang minim dan aktris yang memainkannya dengan ekspresi yang minim pula, tetapi tetap gaya bercerita yang cukup mendalam.
Film Hope yang berceritakan tentang
seorang perempuan bernama Lara yang terkena CoVid-19 harus menjalani isoman
(isolasi mandiri) ditinggal pergi oleh mamanya ke Amerika, mendapat kabar bahwa
kakaknya hamil diluar nikah, dan ditinggal pacarnya menikah. Saat mama lara
pulang, Lara menuntut perhatian mamanya tetapi berujung dengan pertengkaran
yang timbul akibat mama Lara membanding-bandingkannya dengan kakaknya.
Lara menghubungilah ayahnya yang malah mendapati kabar bahwa
ayahnya akan menikah lagi. Lara putus asa dan mengakhiri hidupnya. Saat itu
saya kebingungan untuk memproses konflik yang bertumpuk yang akhirnya sangat
tragis ini. Saat sesi diskusi dimulai, saya ingin menanyakan soal jalan cerita
film Hilang ini, yang awalnya saya mengira ibu dari tokoh meninggal pada saat
itu, tetapi ekspresi tokoh pada scene selanjutnya hanya diam termangu melahap
makanan yang seharusnya ia sajikan ke ibunya membuat saya bertanya-tanya.
Foto: Diskusi Bis Kota, Sumber: Cogito Interruptus |
Dalam sesi diskusi, sutradara film Hilang dan Hope tidak
bisa hadir, digantikan oleh produser film Hilang Intan Nur Aryani dan produser
film Hope Nabiel Muhammad Mashaby. Kemiripan dalam kedua film ini adalah sebuah
kematian dan pandemi CoVid-19 dengan penyajian yang jauh berbeda. Film Hope
memiliki banyak dialog dan konflik yang bermunculan dimana saat konflik sebelumnya
saya mencoba proses lalu muncul lagi konflik baru.
Produser film Hilang menjawab pertanyaan saya berupa
penjelasan yang sudah saya jelaskan sebelumnya. Diskusi sesi dua ini tidak
sepenuhnya saya ikuti dikarenakan udara auditorium yang semakin panas karena
pengunjungnya kian berdatangan lalu saya memutuskan untuk membeli minuman dan
merokok di luar sampai jeda maghrib. Di luar ruangan pun masih banyak beberapa
pengunjung yang sama seperti saya, mencoba mencari angin.
Di sana saya bercakap dengan beberapa panitia dan kawan saya
yang dari Sastra Inggris UPI. Banyak dari panitia tidak menyangka akan sebanyak
itu pengunjungnya. Berbekal dengan modal dari panitia yang minim, terbentuknya
acara yang banyak pengunjungnya ini adalah sebuah pencapaian yang mereka tak
duga-duga. Event ini pun memantik beberapa semangat dari kawan-kawan di luar
jurusan FTV UPI tersebut untuk membuat event guna menyatukan angkatan atau
kelompok yang ingin mereka bangun.
Dari event ini pun saya mendapat beberapa relasi dan
pengetahuan seputar perfilman. Kawan saya yang sebelumnya membacakan puisi
Pesan Pencopet untuk Pacarnya yang saya panggil Mail dan salah satu bagian dari
panitia event menjelaskan kenapa event ini dilaksanakan. Berawal dari diskusi
pergerakan kolektif kemudian membentuk sebuah kegiatan pelarian dari kejenuhan
dunia perkuliahan, dibentuklah event BisKota ini dengan tujuan dapat melepas
rindu event-event screening atau diskusi bersama dari pihak dalam maupun luar
dari kejenuhan gaya hidup baru pandemi ini.
Tentu kerinduan itu terbayar dengan adanya event ini. Selesai jeda maghrib semua pengunjung berbondong-bondong masuk kembali ke Terminal Aoedit dan menyaksikan sesi terakhir.
Foto: Poster Film "Esther" & "Kosakata Bapak" |
Sesi Ketiga Bis Kota, Film: "Esther"dan "Kosakata Bapak"
screening film yang memutar film Esther yang disutradarai oleh Josia Pierre dan film Kosakata Bapak yang disutradarai oleh Luthfi Suwandono.
Film Esther yang menceritakan kisah seorang
anak yang diasuh oleh neneknya dengan keadaan finansial yang pas-pasan tetap
diwarnai oleh kasih sayang sampai kecemasan Esther muncul saat berita soal
pandemi CoVid-19 yang ia saksikan. Neneknya bersikeras bahwa pandemi itu tidak
ada dan tetap harus menjual gorengan itu dijalan yang biasanya ditemani oleh
cucunya akhirnya sang nenek berjualan sendirian.
Esther menantikan kepulangan neneknya tetapi yang ia dapati hanyalah kabar dari ayahnya bahwa neneknya telah berpulang saat bekerja. Mau tidak mau ia harus diambil hak asuhnya oleh ayahnya. Film yang berdurasi sepuluh menit dengan awal yang menghangatkan diakhiri dengan pilu dan lagi-lagi saya nyaris menangis saat penonton bertepuk tangan.
Dilanjutkan dengan film
KosaKata Bapak yang berdurasi dua puluh menit yang mengisahkan sebuah keluarga
tanpa seorang ibu.
Tokoh Umam seorang anak SMA yang sulit untuk mematuhi
perkataan orang tua, Wahyu kakak dari Umam yang patuh dan berprestasi, dan
seorang ayah yang sepuh namun berhati lembut. Berawal dari Umam meminjam motor
kakaknya Wahyu dengan alasan untuk kerja kelompok yang sebenarnya ia mau
mengencani teman SMA-nya kemudian dibegal saat di perjalanan pulang. Wahyu
mendapati Umam yang sampai rumah jalan kaki marah dan bapaknya yang sebelumnya
sudah berpesan tentang kekhawatirannya bila Umam membawa motor itu kecewa.
Terjadi pertengkaran yang diakhiri dengan tangisan antara kedua anak dan bapak.
Terjadi perkembangan sifat tokoh Umam dan menyatunya kekeluargaan.
Kali ini saya benar-benar mengeluarkan air terjun mata saya. Tepuk tangan dari penonton yang cukup panjang membuktikan semua prestasi dari film ini. Memasuki sesi diskusi dari film Esther perwakilan dari wardrobe oleh Halimah Mimi dikarenakan sutradara tidak bisa hadir dan film KosaKata Bapak dari sutradaranya sendiri, Luthfi Suwandono.
Kemiripan dari kedua film yang
telah tayang menceritakan tentang keluarga yang orang-orang dapat memposisikan
diri dari film-film tersebut. Penonton antusias mengajukan pertanyaan soal
bagaimana treatment aktor dan aktris dalam memerankan perannya masing-masing.
Dijelaskan bahwa dari film Esther, diangkat dari kisah nyata sutradara dari
bagaimana neneknya wafat akibat virus CoVid-19
Foto: Diskusi Bis Kota, Sumber: Cogito Interruptus |
Film KosaKata Bapak terdapat komedi yang sebenarnya sutradara sendiri ingin mengangkat Rom-Com tetapi diganti dengan kisah keluarga yang orang-orang dapat merasakan hal yang serupa.
Prestasi yang terpampang di
poster film KosaKata Bapak berupa Nominasi Sutradara Terbaik dalam Festival
Film Islam Lampung, Nominasi Film Terbaik dalam Festival Film Islam Lampung,
Kraf Film Festival 2020, Psychology Film Festival Surabaya, Pemenang SMANDA
Olympic, dan Best Actor SMANDA Olympic.
Ditutup dengan tepuk tangan apresiasi film dan penghujung
acara yang dilanjutkan dengan pemberian hadiah bagi yang sudah bertanya dan
kostum terbaik. Kawan-kawan yang sudah bertanya mendapatkan beberapa pewangi
cucian baju, tas, peci, jedai, dan segala pernak pernik rumah tangga lainnya
yang saya sendiri mendapatkan pewangi tersebut sebagai hadiah.
Foto: Pengunjung dan Panita Bis Kota Berkostum Unik |
Ditutup dengan ManDul (Mail dan Abdul) Berkaraoke yang tak kalah meriahnya. Pengunjung ikut serta memeriahkan karaoke meskipun banyak rombongan yang sudah meninggalkan ruangan auditorium, suara nyanyian yang semakin lantang pengunjung memecahkan akhir acara ini. Saya ikut turun dan menyatu dengan gerombolan yang tengah menari, melompat, dan menyanyi. Lagu yang diputar melalui Spotify dari playlist ManDul berkumandang sampai di penghujung acara. Menyisakan panitia yang kelelahan namun puas, pengunjung yang terkesan, dan saya yang tak ingin karaoke ini selesai walau badan sudah basah kuyup. (Penulis: Sekararum Winihastuti)
0 comments:
Posting Komentar