Pengunjung
merespon karya Lintang Radittya (salah satu karya yang dipamerkan di Soemardja Sound Art Project) Sumber foto: N.Chesters |
Pameran seni biasanya dominan dengan seni rupa seperti lukisan, patung, maupun instalasi. Di Galeri Soemardja yang notabene ruang seni rupa, bunyilah yang menunjukkan “wujudnya”, bunyi dipamerkan, dipajang, bahkan dipertunjukkan.
Pameran bunyi tersebut mengisi acara bertajuk Soemardja Sound Art Project yang dihelat sejak 29 Maret-19 April 2018. Lewat pameran ini, bunyi seakan tak mau kalah dengan seni di atas kanvas atau patung, bahkan ada peformance-nya.
Jumat 6 April kemarin, Soemardja Sound Art Project menyajikan Soemardja Sound Art Project Open Discussion. Acara ini dibuka dua peformance sound art, yakni dari Riar Rizaldi, dan dari Etza Meisyara & Ganjar Gumilar.
Ruang galeri yang berada di kampus Institut Teknologi Bandung, Jalan Ganesha No 10, itu sudah ditata khusus untuk pameran bunyi, sisi-sisi galeri disekat membentuk ruang-ruang seluas sekitar dua meter persegi. Masing-masing ruang ditutup tirai hitam. Jumlahnya ada 10 ruang, di dalamnya terdapat instalasi atau alat yang mengeluarkan bunyi-bunyian.
Sementara bagian tengah galeri dibiarkan kosong, namun karena ada diskusi, di sana dipasang bangku-bangku untuk hadirin. Lebih dari 20 orang menghadiri diskusi tersebut. Di depan hadirin itulah Riar Rizaldi duduk di balik meja dan Macbook-nya.
Pria berkacamata itu mulai mensetel sound art di laptopnya yang dilantangkan ke pengerah suara, diawali dengan bunyi gemuruh yang terdengar seperti suasana di stasiun atau pasar, ada suara orang-orang, roda bergerak, berikutnya bebunyian yang keluar kian kompleks dan berisik.
Terdengar bunyi gemuruh angin, gelas berdenting, logam beradu, benda keras digusur, hingga gelegar bunyi reruntuhan. Puncaknya ada bunyi berdenging memekakan telinga, lalu suara orang berbicara entah dalam bahasa apa.
Ket Foto: Peform Etza Meisyara dan Ganjar Gumilar di Galeri Soemardja.
|
Peformance ketiga mahasiswa ITB itu menjadi pengantar sound art yang kemudian dibedah dalam diskusi. Bob Edrian mengatakan, Soemardja Sound Art Project tak lepas dari sound art yang pernah dipamerkan di Galeri Soemardja lebih dari satu dekade lalu bertema Good Morning: City Noise!!! Sound Art Project, pameran bunyi yang menyikapi kebisingan kota dan lingkungan.
Namun di Soemardja Sound Art Project ini, perkembangan sound art mengalami lompatan jauh. Jika 11 tahun lalu, pameran tak lepas dari headphone, sehingga pengunjung pameran harus memakai headphone tersebut untuk mendengar seni bebunyian, kali ini bebunyian itu ditelanjangi, meski masih ditutupi dalam ruang yang tersekat.
Pengunjung tak lagi butuh headphone untuk mendengar beragam bunyi yang dipamerkan, tapi bisa mendengar langsung, melihat langsung sumbernya, lalu bunyi itu dibedah atau didiskusikan, bahkan didalami lewat sebuah workshop.
Menurut Bob, Soemardja Sound Art Project melibatkan lebih dari 20 seniman. Ia berharap, pameran tersebut memperluas wacana, eksplorasi, serta pengkajian terkait seni bunyi atau sound art di Indonesia.
Ket Foto: Soemardja Sound Art Project Open Discussion Sumber Foto: Iman Herdiana |
Rangkaian pameran sound art sendiri sudah dimulai sejak Januari di Lawangwangi Creative Space yang lebih menekankan pada aspek historis sound art, kemudian pada Februari di Institut Français d'Indonésie (IFI) Bandung yang mengeksplorasi bebunyian melalui pertunjukan, lalu pada Maret di Spasial yang membedah kaitan bunyi dengan ruang dan interaksi dengan individu.
“Di Galeri Soemardja ini akumulasi dari tiga rangkaian sebelumnya,” jelas Bob Edrian.
Definisi seni bunyi atawa sound art sendiri di mata seniman tidaklah ajeg, ada yang memandang seni bunyi sebagai konsep atau gagasan, ada pula yang memandangnya sebagai perluasan dari fisika bahwa bunyi ialah materi.
Riar Rizaldi, salah satu seniman yang karyanya paling berisik dalam pameran itu mengatakan, lewat pameran tersebut seni tak berhenti pada definisi materi. Ia menyadari, sound art tak sekedar dipamerkan, melainkan melewati proses panjang, ada kuratorial yang membingkainya, kemudian workshop untuk mengeksplorasi sound art lebih jauh lagi.
Selama empat bulan mengikuti rangkaian sound art tersebut, ia mengaku banyak yang masih harus digali. “Empat bulan saya nggak mengerti bagaimana sound itu,” ucap pria yang mengikuti rangkaian pameran sejak awal.
Riar sendiri memamerkan bunyi sebagai senjata. Menurutnya, bunyi sebagai senjata sudah terjadi sejak zaman kolonial. Berikutnya, militer dan kepolisian menggunakan bunyi untuk mengusir bajak laut di Somalia. Belakangan, sebuah perusahaan mengembangkan teknologi bunyi super sonic yang kemudian dipakai untuk mengusir demonstran.
Diskusi tersebut mendapat tanggapan dari dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, Duto Hardono. Ia mempertanyakan kaitan bunyi dalam konteks seni rupa. Secara fisikal, bunyi merupakan material yang getarannya merambat di udara. Tapi dalam pameran tersebut, bunyi dibawa ke ruang seni rupa.
Menurutnya, di sepanjang sejarahnya tidak ada seni rupa yang benar-benar bisu. “Contohnya lukisan, kita tak bisa melihatnya dengan menutup telinga. Cara yang paling tepat untuk menyelami karya seni dengan sepenuh tubuh dari indra dan pemikiran,” katanya.
Ia mengungkapkan, sound art kini mengalami perkembangan pesar dibanding 11 tahun lalu ketika Good Morning: City Noise!!! Sound Art Project 2007. “Kini muncul paneran lanjutan seperti ini yang ternyata ditelanjangi proses bunyinya,” ujarnya.
Pameran kali ini tak hanya menghadirkan kebisingan seperti yang dipamerkan Riar, tetapi juga bunyi halus karya Julian Abraham “Togar”. Beragam bebunyian itu berbaur untuk menyerbu telinga pengunjung pameran.
“Masuk ke ruangan ini riuh sekali, nggak bisa fokus karena di background saya ada bunyi lain,” katanya. (Penulis: Iman Herdiana)
0 comments:
Posting Komentar