Ket Foto: Alm Popo Iskandar, Sumber Foto: GSPI |
Popo Iskandar tak hanya meninggalkan jejak berupa ribuan karya. Almarhum juga memberikan pengaruh hingga kini. Eksistensi Griya Seni Popo Iskandar (GSPI) menjadi bukti akan pengaruh itu.
Griya Seni Popo Iskandar berdiri di lahan seluas 700 meter persegi di Jalan Setiabudi, Bandung. Posisinya hampir bersebelahan dengan kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Tahun 2000-an, galeri ini berdiri di seberang kampus UPI. Namun kini tempat tersebut menjadi hotel. Pada 2014, GSPI kemudian pindah ke tempat yang sekarang.
GSPI menjadi salah satu galeri yang punya museum yang di dalamnya menyimpan koleksi karya Popo Iskandar. Baik museum maupun galeri, sama-sama memiliki program rutin, meliputi pameran koleksi tetap museum, pengumpulan data karya seni rupa maupun tulisannya yang dibuat antara 1957-1990.
“Popo rajin menulis di media massa waktu itu,” terang kurator GSPI Anton Susanto, saat berbincang dengan Rupa dan Kata, Sabtu 3 Februari lalu.
Selain itu, GSPI juga mengurus sertifikasi karya Popo Iskandar. Banyak kolektor yang melakukan sertifikasi. Sertifikasi diawali dengan pemeriksaan keaslian karya. “Karya Popo menjadi salah satu yang sering dipalsukan,” katanya.
Popo adalah seniman kelahiran Garut, 17 Desember 1927 (meninggal di Bandung, 29 Januari 2000). Ia memiliki 11 anak. Museum dan galeri GSPI dikelola salah satu anaknya, Harry Nugraha yang menjabat Direktur GSPI. Harry inilah yang menandatangani sertifkat karya Popo.
Anton sendiri salah satu cucu Popo Iskandaar yang bertugas sebagai kurator dan mengelola program galeri. Saat ini, museum mengoleksi 20 lukisan karya Popo, belum termasuk lukisan cover buku dan lukisan kertas. Karya Popo meliputi drawing, lukisan, grafis.
“Ada lukisan yang kita dapat dari buyback dari kolektor,” katanya.
Menurut Anton, koleksi karya seni rupa Popo yang ada di museum hanya sebagian kecil saja. Popo melukis dari tahun 40-an. Selama lebih dari 55 tahun dia melukis. Dalam rentang waktu tersebut, Popo menghasilkan 2.000 lukisan. Angka ini muncul dari pengakuan Popo dalam suatu wawancara.
Museum GSPI buka jam kerja Senin - Jumat, kecuali jika di galeri ada pameran, jam buka museum bisa diperpanjang Sabtu dan Minggu.
Ket Foto: Ruang Baca di GSPI, Sumber Foto: Iman Herdiana |
Di Museum GSPI terdapat Ruang Baca Popo yang menyimpan 1.200 buku koleksi pribadi Popo Iskandar, kebanyakan buku terbitan tahun 40-an, meliputi seni dan sastra. Almarhum juga menulis empat buku seni rupa, salah satunya berjudul Rupa Kata. Buku tersebut ditata rapi di ruang baca yang difungsikan sebagai ruang baca publik. Hanya saja, pengunjung cukup baca di tempat, tidak bisa meminjam buku ke rumah.
Ruang Baca Popo punya program Popo Iskandar Writing Competition. Kompetisi menulis esai ini pertama digelar tahun 2015 dan diikuti guru dari 18 kabupaten/kota se-Jabar dengan tema peluang museum seni rupa dalam pendidikan. Selain untuk merangsang produktivitas guru dalam menulis, kompetisi ini mendorong pendidikan seni rupa.
Khusus untuk mahasiswa, GSPI kerja sama dengan Hima UPI untuk menggelar Himasra Art Awards yang sudah digelar lima kali sejak 2012-2016. Awalnya, Himasra Art Awards hanya untuk mahasiswa seni rupa UPI, belakangan berkembang untuk kampus di luar UPI.
Di bidang pameran, galeri GSPI terbuka bagi seniman mana pun yang ingin memamerkan karyanya. Menurut Anton, gairah seni rupa Bandung saat ini sedang menggeliat, khususnya di kalangan anak muda.
Ket Foto: Anton Susanto, Pengelola Sekaligus Kurator GSPI, Sumber Foto: Iman Herdiana |
Sepanjang 2017 lalu, GSPI tidak sepi dari agenda pameran, antara lain Alam Kami, Kamuflase, Fotografi Fokusin Bandung, Reka Rakit Seni Serat Benang, Seni Rupa Kecil Matil, Importensi, Hakuna Matata, Bongkar Gudang.
GSPI tak hanya fokus pada seni rupa, tetapi juga konsentrasi pada perkembangan performance art. Maka GSPI punya program Kamisan setiap dua minggu sekali, khusus mendiskusikan performance art. Tahun lalu, diskusi ini jalan dari Februari sampai Oktober. Tahun ini, Kamisan akan kembali digiatkan.
Narasumber yang sudah mengisi diskusi performance art meliputi Agung Jek, W Kristiawan, Deni Ramdani, Isa Perkasa, Entri Somantri, Riko Obos dan lainnya. Ada juga narasumber dari Jepang Futoshi Moromizato dan dari Filipina Nicolas Aca dan Lorena. Di akhir diskusi, narasumber biasanya menutup dengan performance art.
GSPI pernah kedatangan Safir Islami yang melakukan performance art panjang dari Jakarta sampai titik nol Sabang. Safir Islami performance ditemani anjingnya menyusuri pantai barat pulau Sumatra selama 11 bulan.
Dilihat dari agenda yang sudah digelar, program GSPI banyak digelar untuk anak muda. Anton mengatakan, keberadaan GSPI salah satunya untuk memfasilitasi seniman muda dalam merintis karier senimannya. Lewat pameran, anak muda, khususnya mahasiswa, bisa belajar manajemen dan mengelola pameran mengingat tak semua mahasiswa bisa melakukan manajemen pameran.
“Memberi space untuk seniman muda juga bagian dari amanat almarhum Popo Iskandar yang sangat support pada anak muda. Jadi yang dilakukan GSPSI representasi perhatian Popo pada anak muda,” kata Anton.
Ia menuturkan, ketika masih hidup, Popo sering menggelar acara yang melibatkan anak muda. Himasra Art Awards merupakan warisan Popo Iskandar yang berlanjut hingga kini. “Tradisi tersebut kita lanjutkan sekarang,” kata Anton.
Ia mengungkapkan, membuat karya seni tidaklah mudah, apalagi harus dipamerkan lewat pameran. Karena itu, seniman membutuhkan ruang pameran. Soal biaya, GSPI punya skema tersendiri.
“Kita membagi beban dengan seniman. Sumber dana untuk maintenance dari GSPI. Alhamdulillah keluarga almarhum sangat support. Untuk prosuksi pameran kita kerja sama dengan seniman,” tandas Anton. (Penulis: Iman Herdiana)
0 comments:
Posting Komentar