Pembukaan Pameran : 31 Januari 2015
Dibuka oleh Krisna Murti
Pameran berlangsung sampai 21 Februari 2015
Diskusi
Pembicara: Anggiat Tornado, Nandanggawe
Moderator : Rudi St Darma
Waktu : 14 Februari 2015
Tempat: S.14, Jl sosiologi 14 komp perum UNPAD Cigadung Bandung
|
Dalam The Box of Scopophilia, Nandanggawe yang bernama lengkap Nandanggumelar Wahyudi menawarkan gagasan tentang sublasi dan mekanisme pertahanan ego seniman dalam berkarya dengan bersandar pada konsep Karya berupa kotak berukuran persegi panjang seukuran tubuh manusia menarik semua pengunjung untuk melihat apa di dalamnya.
Di dalam kotak terdapat kotak kecil yang ditumpuk, disusun di dalam kotak-kotak tersebut terdapat benda-benda seperti: kunci, boneka, patung wajah, foto keluarga, gembok. Apa yang hendak ditawarkan Nandang Gawe dalam The Box Scopophilia? Ikuti ulasan diskusi pameran The Box of Scopophilia, berikut ini.
Diskusi dan Kopi Sore Box of Scopophilia di S-14
Ruang pameran memberikan apresiasi dan penawaran berbagai macam tafsir pada setiap karya yang dipamerkan, namun rasanya belum lengkap jika tidak diberi tambahan hari untuk diskusi bersama senimannya. Tentu banyak alasan mengapa pameran perlu dan menarik untuk didiskusikan,
Mengapa pameran perlu membuka ruang diskusi? Paling tidak pada sebuah acara diskusi sebuah karya tidak hanya untuk diperdebatkan melainkan sebuah diskusi akan berpeluang membuka apa, mengapa dan bagaimana sebuah proses kekaryaan seorang seniman dengan karyanya, dengan harapan terjadi keintiman antara seniman, karya dan publik yang datang.
Demikianlah yang terjadi pada tanggal 14 februari 2015, pukul 15.00 WIB di S.14 Bandung, setelah dua minggu pameran dibuka, diskusi pameran The Box of Scopophilia digelar. Walaupun agak terlambat menunggu pembicara hadir, tidak satupun beranjak dari ruang S-14. Ada yang sibuk berbincang, menyantap makanan kecil, ada yang menunggu di ruang perpustakaan S-14 melihat-lihat koleksi buku.
Suasana Diskusi Pameran "The Box of Scopophilia - Sumber Foto: Galeri S-14 |
Saat diskusi dimulai Nandanggawe mengawali diskusi dengan menceritakan perjalanannya di dunia rupa. Berawal sejak ia hijrah ke Yogjakarta tepatnya pada tahun 1986 menyelesaikan pendidikan formal di SMSR Yogyakarta. Setelah menyelesaikan studi di SMSR Yogyakarta, kemudian ia memutuskan untuk kembali ke Bandung dan menyelesaikan pendidikan formalnya di STSI Bandung pada tahun 2002.
Tahun 2012 dianggapnya sebagai akumulasi dari kritik, hal tersebut ia lakukan untuk mengingatkan agar tidak terjebak dalam situasi dimana segala sesuatu menjadi sebuah kebenaran.
Dari kegelisahannya Nandang memberikan sebuah ruang jeda antara karya yang lama dengan tema social politik mengarah ke tema-tema keseharian. Sambil mendengarkan proses kreatif kang Nandang , semua yang hadir bisa melihat foto-foto slideshow perubahan karya-karyanya pada setiap periode melalui layar infocus.
Lalu apa apa yang dimaksud dengan Scopophilia? Dan mengapa Nandanggawe memilih Scopophilia sebagai judul pamerannya? Scopopohilia dapat diartikan menyukai lawan jenis dari kejauhan, suka membuntuti obyek seksualnya atau kesenangan dilihat dan melihat tubuh untuk memenuhi hasrat seksual.
Menurut Nandang Gawe Scoppobilia hendak menawarkan sesuatu untuk dilihat namun iapun dapat melihatnya juga, saling memasuki. menawarkan sebuah gagasan dan pemikiran yang seniman tawarkan dalam sebuah karya. Jika dikaitkan dengan ego bagaimana seni menjadi bagian dari ungkapan hasrat berkereasi.
Kemudian diskusi dilanjutkan dengan pembahasan mengenai Ideologi seniman oleh Anggiat Tornado , menurutnya ‘ketika menyaksikan karya Nandang Gawe seperti menyaksikan sebuah pementasan teater Samuel Beckett yang absurd. Absurd disini menurut Anggiat seperti sedang mendengarkan bila seseorang mengatakan ketidakmengertian dan ketidaktahuannya”.
Diskusi berjalan santai dan efektif, dimulai dari pertanyaan pertama oleh Heru Hikayat, yang menanyakan mengenai kotak yang diperlakukan seperti Nandang saat berkarya dalam kertas dimana tidak ada ruang yang kosong dan mengenai repetisi (pengulangan) dalam karya.
Nandang menjawab “bahwa itulah representasi kita hari ini yang penuh dengan segala macam ornament yang kompleks, dengan harapan agar dapat mengungkapkan segalam macam hal di sekeliling kita….”
Anggiat menambahkan mengenai ideologi seniman dalam konteks sistem berpikir seniman yang melakukan sebuah repetisi “bahwa bila seorang seniman selalu menggambar sebuah objek secara terus menerus dengan pola yang sama dan dengan pendekatan estetik yang berbeda, ----------- bagi saya sedang meyakinkan pada dirinya bahwa apa yang diyakini mendekati jalan yang diinginkannya”.
Pertanyaan lainnya muncul dari kang Benzig, mengenai kaitan antara ideologi seniman dengan karya, mba Hera yang bertanya mengenai seni sebagai media terapi bagi penderita schizophenia . Akhirnya waktu lah yang memisahkan kita, tepat pukul 18.00 WIB diskusi ditutup oleh pertanyaan mba Cipuk mengenai pemilihan benda-benda yang menjadi simbol dalam karya.
Diskusi
mengenai tafsir sebuah karya, perjalanan kreatif seniman dan karyanya memang
selalu seru untuk dibahas. “Banyak tafsir yang bisa ditemukan dalam
sebuah karya, namun dengan adanya diskusi ini setidaknya kita menemukan
serpihan-serpihannya” demikian moderator Rudi ST Darma menutup diskusi. (Penulis: Besti Rahulasmoro)
0 comments:
Posting Komentar